TANGGUH PANGAN
Oleh: Prof. Dr. Cahyono Agus
Ketahanan Pangan di Indonesia menurut UU 18/2012 adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015 oleh World Food Program (WFP) dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP), telah mengidentifikasi perkembangan kabupaten-kabupaten yang rentan terhadap kerawanan pangan dan gizi, dan penyebab utama kerentanannya. Sejak tahun 2005, telah terjadi penurunan jumlah kabupaten yang paling rentan pangan (Kawasan Prioritas 1 dan 2). Ketahanan pangan sebagian besar masyarakat Indonesia telah meningkat pada periode 2009 dan 2015, terutama sebagai dampak dari perbaikan pada beberapa indikator ketahanan pangan dan gizi. Pengurangan setengah dari jumlah penduduk yang hidup dalam kelaparan dan kemiskinan ekstrim telah tercapai dalam program Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia fase pertama. Hasil ini menggembirakan, namun kemajuan tersebut dapat mengalami hambatan jika tantangan-tantangan utama yang ada tidak ditangani dengan baik. Saat ini, pemerintahan juga semakin memprioritaskan program pangan dan gizi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Kemendes PDTT yang menyalurkan Dana Desa sebesar Rp. 20,7 trilyun tahun 2015, diharapkan menjadi daya ungkit pembangunan desa terpadu yang berlokomotifkan sektor pertanian. Sehingga dapat menumbuhkan perekonomian nasional 0,5% dan menurunkan tingkat ketimpangan kesejahteraan sebesar 0,01%. Alokasi dana desa dalam APBN 2016 akan ditingkatkan menjadi Rp. 47 trilyun untuk memicu sektor riil di pedesaan, bahkan akan ditingkatkan terus hingga Rp 80 trilyun. Fokus prioritas kerja yang lain adalah percepatan pembangunan 39.091 desa tertinggal dan 17.268 desa sangat tertinggal, dan mengentaskan 80 daerah tertinggal dari 122 kabupaten daerah tertinggal pada tahun 2019. Baik karena rawan pangan, di perbatasan, di pulau terpencil dan terluar, maupun kawasan rawan bencana dan pascakonflik, sehingga prioritas harus segera ditangani.
Anggaran Kementan pada 2016 mengalami kenaikan 100% dibanding 2015, fokus untuk menggenjot produksi pangan. Sebesar Rp 32,9 triliun khusus program swasembada tujuh komoditas pangan utama, yaitu padi, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging, dan gula. Target produksi padi 2016 adalah 75,13 juta ton, jagung 21,35 juta ton, kedelai 1,5 juta ton, daging sapi atau kerbau 0,59 juta ton, karkas 0,46 juta ton potongan daging, gula 2,8 juta ton, bawang merah 1,17 juta ton, cabai 1,1 juta ton. Selama ini, sejumlah bahan pangan masih di impor meskipun sudah mulai turun, seperti jagung, daging, bawang. Indonesia memiliki kemampuan nyata untuk memproduksi sendiri. Program harus difokuskan pada sumber kerentanan pangan, melalui ektensifikasi, intensifikasi, terobosan inovasi, serta pemberdayaan petani agar mampu membantu dirinya sendiri secara mandiri. Peningkatan produksi pangan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan petani.
Jika pertanian sebagai lokomotif pembangunan desa terpadu dikelola dari hulu ke hilir secara sinergis dan baik, tanpa tumpang tindih, berorientasi program nyata dan bukannya proyek semata, maka Indonesia akan menjadi negara tangguh pangan seutuhnya. Tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun juga bisa diekspor, sehingga bisa memberikan nilai tambah pada perekonomian nasional. Menjadi sektor super hero baru yang bermartabat dan berkelanjutan dalam mengelola sumber daya lahan (tanah, air, udara) dan hayati (hewan, tumbuhan dan manusia) unggulan lokal, berbasis masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mendasar seluruh makluk hidup berupa pangan sehat. Manajemen produksi, konsumsi dan distribusi harus dikelola secara terpadu dan menyeluruh secara sinergis oleh seluruh pemangku kepentingan. Semua harus berperan dan berkontribusi nyata untuk kepentingan bersama, bukan hanya jadi penonton, apalagi pecundang. Kita harus mampu memenangkan persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2016 dengan mengekspor pangan, bukan justru diserbu produk import.
Diterbitkan pada Harian Kedualatan Rakyat, 22 Desember 2015