Dunia pendidikan Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit yang sangat menyakitkan. Setidaknya, empat lembaga survei internasional menempatkan kualitas pendidikan di Indonesia pada rangking paling bawah. The Learning Curve menempatkan pada posisi buncit dari 40 negara yang disurvei. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menempatkan di urutan 64 dari 65 negara. Sementara itu, hasil survei TIMS and Pirls menempatkan di posisi 40 dari 42 negara. Sedangkan World Education Forum di bawah naungan PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara, dan World Literacy merangking di urutan 60 dari 61 negara. United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization menyebut hanya satu dari 1000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius.
Penerapan ujian seleksi baca, tulis hitung (calistung) bagi calon anak didik yang mau masuk TK dan SD, maupun Ujian Nasional (UNAS) pada tingkat dasar dan menengah, nampaknya justru tidak menjadikan anak didik menjadi insan pembelajar yang baik. Anak didik justru tertekan, mengambil jalan pintas, curang, korupsi, orientasi nilai, kehilangan substansi dan integritas. Anak didik menjadi terpisahkan dengan nilai budaya dan kemanusiaan, sehingga menganggap pelajaran di sekolah sebagai momok yang berat, sulit, menakutkan, menjemukan, jenuh, membosankan namun menjadi kewajiban yang harus dipaksakan. Anak didik menjadi mudah tergoda untuk bermain, game, entertainment, permainan dengan teknologi canggih yang menyenangkan, sesuai selera, mengerti kebutuhan, serasa menyatu dalam kehidupan dan membikin ketagihan anak. Demikian juga perploncoan pada awal pembelajaran justru menjadikan individu yang pendendam, suka kekerasan, ego, tidak tepo sliro, bahkan ketika sudah menjadi pemimpin bangsa saat inipun justru semakin arogan dan mau menangnya sendiri.
Indonesia harus melakukan restorasi (pembaharuan, revolusi) pendidikan dengan menemu kenali kembali pada “khithah” sistem pendidikan nasional yang tepat. Sistem dan konsep yang memberi wawasan yang cerdas, luas, mendalam dan futuristik, sehingga menumbuhkan tanggung-jawab dan kontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan seutuhnya. Yang berakar kuat pada budaya leluhur sendiri dengan reformulasi kekinian, mengacu pada sistem pendidikan yang menyenangkan (edu-tainment) yang mementingkan nilai budaya dan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara saat mendirikan Perguruan Taman Siswa tahun 1922 di Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantoro mengemukakan sistem Tri Centra dengan tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting. Selanjutnya UU No. 20 Tahun 2003 memformulasikan menjadi Tri Pusat Pendidikan yang meliputi Pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sistem among yang harus dikembangkan lagi adalah metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Menjadi manusia merdeka yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati nilai kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang. Dalam sikap Momong, Among, dan Ngemong, terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang bebas tanpa arah. Metode Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
Mahasiswa luar daerah yang pernah belajar dan kost di Jogja pada jaman dahulu, benar-benar mendapatkan kesempatan menjadi insan pembelajar dengan sistem among secara langsung di sekolah, keluarga induk semang dan masyarakat umum. Sehingga membentuk karakter unggul yang melekat kuat dan selalu merindukan kembali ke Jogja. Keistimewaan Jogjakarta harus mengembalikannya sebagai model kota pendidikan dan budaya yang mumpuni.
Sistem Among sering dikaitkan dengan asas dan konsep “Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Ketika berada di depan menjadi pemimpin harus mampu menjadi teladan, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong pihak-pihak yang dipimpinnya. Sekarang, konsep ini menjadi jargon tontonan tanpa tuntunan luhur sama sekali. Bangsa ini telah mengalami dekadensi nilai-nilai budaya (pemimpin minus keteladanan, korupsi, kriminal, asusila, dll). dunia pendidikan Indonesia menggagas apa yang disebut dengan pendidikan karakter, pendidikan berbasis nilai-nilai budaya yang luhur.
Konsep budaya ”Trisakti Jiwa” terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Bahwa untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Disamping konsep pengembangan budaya ”Trihayu” yang terdiri dari mamayu hayuning sarira, mamayu hayuning bangsa, dan mamayu hayuning bawana. Bahwa tindakan seseorang hendaknya tidak individualistik, namun harus dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bangsa, dan dunia pada umumnya. Dalam dunia pendidikan modern saat ini, meskipun berbeda secara substansial, konsep trisakti jiwa bisa diselaraskan dengan upaya memfasilitasi seluruh potensi anak didik dalam perkembangan belajarnya. Yang meliputi : aspek kognitif (pengetahuan/pemahaman), aspek afektif (sikap atau minat), dan sikap psikomotorik (keterampilan).
Informasi Penulis:
Prof. Dr. Cahyono Agus – Guru Besar UGM Yogyakarta dan alumni TK-SD Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta – HP: 081 5688 8041 – Email: acahyono@ugm.ac.id – Web: acahyono.staff.ugm.ac.id
|