PENDIDIKAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Ki Prof. Cahyono Agus

PENDIDIKAN UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Ki Prof. Cahyono Agus

 

Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development, ESD) dicetuskan pertama kali oleh Prof. Dr. Hans J.A. Van Ginkel, Mantan Rektor UNU dan Staf Ahli Sekjen PBB. Konsep ini sesuai dengan konsep yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam mengelola perguruan Tamansiswa, melalui system Tri-pusat pendidikan, Tri-sakti Jiwa dan Tri-logi kepemimpinan.

Pendidikan (formal, nonformal dan informal) merupakan instrumen kuat yang efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran dan dapat untuk memobilisasi massa/komunitas, serta menggerakkan bangsa ke arah kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan. Ki Hadjar menerapkan sistem Tri-Centra berupa 3 pusat pendidikan meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat, berupa pendidikan formal, informal dan non-formal secara sinergis dan seimbang, sehingga bukan tanggung jawab sekolah semata. Orang tua dan masyarakat ikut berkontribusi nyata mendidik dan menyiapkan anak menjadi sosok mandiri yang mampu membantu dirinya sendiri agar mampu mandiri dan bermanfaat serta barokah bagi dirinya, masyarakat dan lingkungannya. Kebersamaan dalam mendidik ini menjadi bagian terpenting pendidikan karakter bangsa yang utuh dan terpadu.

ESD adalah pendidikan yang menyisipkan wawasan dan konsep secara luas, mendalam dan futuristik tentang lingkungan global, sehingga mampu mencari hubungan sebab dan akibat, dan cara pengatasannya. Namun demikian, bukannya hanya “tentang” pendidikan pengembangan berkelanjutan, melainkan pendidikan “untuk” mendukung pengembangan berkelanjutan. Yaitu pendidikan yang memberi kesadaran dan kemampuan kepada semua orang (utamanya generasi mendatang) untuk berkontribusi lebih baik bagi pengembangan berkelanjutan pada masa sekarang dan yang akan datang.

Pendidikan mestinya tidak hanya mengasah kecerdasan otak semata namun pendidikan karakter bangsa yang harus mengadopsi kembali konsep budaya ”Trisakti Jiwa” yang terdiri atas cipta, rasa, dan karsa, yaitu kombinasi sinergis antara hasil olah-pikir, olah-rasa, serta motivasi yang kuat. Sistem momong, among, dan ngemong perlu diterapkan dalam metode pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh, bukan pemaksaan kurikulum yang bertentangan dengan kodrat alam anak.

Makna “Sekolah’ sebenarnya bukan hanya bangku sekolah semata, namun seharusnya menjadi “Taman” indah dan menyenangkan yang membuat betah anak siswa didik maupun pengunjungnya. Fungsi “taman” juga melebur ke dalam suasana belajar mengajar yang adem teduh eyup yang merangkul sang anak & pamong dalam suasana kekeluargaan yang utuh dengan limpahan kasih sayang seperti duplikasi cinta dalam sebuah rumah keluarga. Taman sebagai ajang pemberdayaan kapasitas individu, masyarakat dan institusi dalam pengelolaan sumber daya lahan (tanah, air, udara) lokal, sumber daya hayati (hewan, tumbuhan dan manusia) serta lingkungan sekitar untuk dijadikan media pembelajaran yang efektif dan efisien untuk perbaikan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.

Melalui ESD akan mendidik manusia sadar tentang tanggung jawab pribadi yang harus dikontribusikan, yang menghormati hak-hak orang lain, alam dan diversitas, dapat menentukan pilihan/keputusan yang bertanggung-jawab, dan mampu mengartikulasikan semua itu dalam tindakan nyata. Dengan ESD, kita secara bersama mempunyai komitmen untuk berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih aman-nyaman bagi kita semua, baik sekarang maupun dimasa mendatang bagi anak cucu kita. Hal Ini merupakan sebuah pemahaman tentang kompleksitas dan diversitas secara komprehensif serta bagaimana cara mengubah segala perkembangan/pengembangan kearah kelestarian, dan dilaksanakan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang bijaksana, serta disosialisasikan secara efektif dan meluas.

Dalam rangka pengembangan pembangunan bangsa dan manusia seutuhnya, maka perlu dibangun taman pendidikan unggulan lokal yang dapat diberdayakan sepenuhnya sebagai wahana untuk tranfer pengetahuan (transfer of knowledge), ketrampilan (skills) dan nilai-nilai luhur (values). Konsep “Trilogi Kepemimpinan”  yang terdiri dari Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani, saat ini hanya menjadi rujukan slogan bangsa Indonesia semata, sehingga juga harus diterapkan dengan baik.

Perubahan paradigma baru dari sekolah menjadi taman ”edutainment”, harus disinergiskan mendidik kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, secara tersistem dan menyenangkan. Menekankan pada siswa agar dapat mengerti (Learn to know), mengerjakan sendiri (Learn to do), menjadi aktor (Learn to be) dan bekerja bersama (Learn to work together), sehingga lulusannya mempunyai kompetensi (competence), komitmen (committment), keberpihakan (compassion)), dan nurani (conscience) terhadap masyarakat awam dan seluruh makluk di bumi ini.

 

Ki. Prof. Dr. Cahyono Agus

Guru Besar UGM, Yogyakarta

Ketua Umum Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS)

Email : cahyonoagus@gadjahmada.edu

Web : acahyono.staff.ugm.ac.id

 

 

Artikel ini telah diterbitkan pada:

Agus, C. 2017. Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kolom Bernas. Harian Bernas. Hari Senin, 18 September 2017. Halaman 4.