Di saat tantangan masa depan yang semakin tinggi, dunia pendidikan Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit yang sangat menyakitkan. Setidaknya, empat lembaga survei internasional menempatkan kualitas pendidikan Indonesia pada rangking paling bawah. The Learning Curve menempatkan pada posisi buncit dari 40 negara yang disurvei. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menempatkan di urutan 64 dari 65 negara. Sementara itu, hasil survei TIMS and Pirls menempatkan di posisi 40 dari 42 negara. Sedangkan World Education Forum di bawah naungan PBB menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 76 negara, dan World Literacy merangking di urutan 60 dari 61 negara. United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization menyebut hanya satu dari 1000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius.
Generasi masa depan, menurut Rossabeth Moss Kanter, akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, sehingga dituntut memiliki 4C yaitu: concept, competence, connection, dan confidence Untuk melahirkan para inspirator, inisiator, motivator, dan organisator bangsa yang kompeten. Thomas J. Stanley menunjukkan bahwa dari 100 faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang, IQ hanya diurutan ke-21, bersekolah di sekolah favourite diurutan ke-23, dan lulus dengan nilai terbaik/hampir terbaik cuma faktor sukses diurutan ke-30. Sementara 10 faktor pertama utama adalah: jujur, disiplin, trampil, dukungan keluarga, kerja keras, mencintai pekerjaan, kepemimpinan, semangat & berkepribadian kompetitif, pengelolaan kehidupan, dan kemampuan menjual gagasan & produk.
Indonesia harus melakukan restorasi (pembaharuan, revolusi) pendidikan dengan menemu kenali kembali pada “khithah” sistem pendidikan nasional yang tepat. Sistem dan konsep yang memberi wawasan yang cerdas, luas, mendalam dan futuristik, sehingga menumbuhkan tanggung-jawab dan kontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan seutuhnya. Yang berakar kuat pada budaya leluhur sendiri dengan reformulasi kekinian, mengacu pada sistem pendidikan yang menyenangkan (edu-tainment) yang mementingkan nilai budaya dan kemanusiaan. Sebagaimana yang telah diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara saat mendirikan Perguruan Taman Siswa tahun 1922 di Yogyakarta.
Pemerintah saat ini mengembangkan program Nawacita dalam sektor pendidikan melalui Revolusi Mental. Cara mencapainya, tentu membutuhkan sejumlah prasyarat pembangunan fisik untuk memastikan bahwa pendidikan sebagai bagian dari pelayanan publik dapat berlangsung secara meluas, merata dan tanpa diskriminasi. Peran Nawacita sebagai “peta jalan Revolusi Mental” dijabarkan melalui 10 prioritas utama pendidikan. Penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan (civic education), yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti: pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela Negara dan budi pekerti dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kurikulum pendidikan Indonesia; Biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara; Tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional – termasuk di dalamnya Ujian Akhir Nasional;
Pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal (daerah) dan aspek nasional, dalam rangka membangun pemahaman yang hakiki terhadap ke-bhineka-an yang Tunggal Ika; Peningkatkan sarana dan prasana pendidikan yang mendukung terjadinya proses transfer pengetahuan dan pendidikan; Rekrutmen dan distribusi tenaga pengajar (guru) yang berkualitas secara merata; Jaminan hidup yang memadai bagi para guru yang ditugaskan di daerah terpencil, dengan pemberian tunjangan fungsional yang memadai, pemberian asuransi yang menjamin keselamatan kerja, fasilitas-fasilitas yang memadai dalam upaya pengembangan keilmuan serta promosi kepangkatan dan karir;
Pemerataan fasilitas pendidikan di seluruh wilayah terutama wilayah-wilayah yang selama ini diidentifikasi sebagai area dengan tingkat dan pelayanan pendidikan rendah atau buruk. Salah satunya, adalah penyediaan dan pembangunan sarana transportasi dan perbaikan akses jalan menuju fasilitas pendidikan/sekolah dengan kualitas yang memadai; UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dan segala pungutan; Perhatian yang tinggi terhadap pendidikan yang berbasiskan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Disamping pemenuhan kebutuhan standard minimum sekolah untuk mendapatkan kualitas SDM standard dalam pembangunan nasional, maka diperlukan juga sekolah unggulan untuk menjadi kader patriot calon pemimpin bangsa masa depan yang mumpuni dengan problema masanya. Sekolah unggul ini diharapkan memiliki indikator terukur unggulan, setidaknya: (1) Lembaga penyelenggara yang kredibel dan bereputasi unggulan, (2) sarana, prasarana dan layanan prima; (3) sistem pembelajaran yang efektif dan efisien, (4) desain kurikulum edutainment (5) prestasi akademik dan non-akademik unggulan; (6) seleksi input siswa yang berkualitas; (7) konsep pendidikan terpadu yang cerdas, luas, mendalam dan futuristik, (8) Sumber daya manusia yang mumpuni, (9) keuangan yang kuat dan baik, (10) pengelolaan operasional yang sehat, (11) menghasilkan alumni unggulan.
Sekolah unggulan bagi generasi emas ini merupakan arena pendidikan karakter kader pemimpin masa depan yang berdasarkan pada rasa asih, asah dan asuh sehingga mempunyai konsep, pemikiran dan tindakan yang jujur, cerdas, luas, mendalam dan futuristik yang dikontribusikan secara nyata dalam pembangunan bangsa seutuhnya. Menghasilkan generasi berkarakter “generasi emas” yang memiliki kompetensi, karakter, gaya hidup, nilai relijius, nilai budaya, daya juang, sikap, pola pikir, konsep, peradaban dan wawasan, yang unggul, cerdas luas, mendalam, produktif, kreatif, inovatif, dan futuristic, sehingga menumbuhkan tanggung-jawab dan kontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan dan kehidupan yang sehat, damai, bahagia, bermartabat dan berkelanjutan seutuhnya.
Strategi yang akan diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan Sekolah Unggulan terpadu dapat menggunakan sistem pondok-asrama, pesantren (NU) atau “Wiyatagriya” (ajaran Ki Hadjar Dewantara). Sistem ini dikenal secara populer sebagai “boarding school system”, yang memadukan antara pendidikan karakter dan pendidikan akademik dengan membekali “ketrampilan dan kepemimpinan hidup” unggulan. Sekolah unggulan adalah Sekolah Taruna Nusantara di Magelang, Sekolah Krida Nusantara di Bandung, Sekolan Insan Cendikia di Tangerang dan lainnya merupakan contoh yang dapat menjadi rujukan yang harus selalu diperbaiki. Perlu dukungan seluruh pihak, baik pendidik, pemerintah, masyarakat, maupun swasta untuk mewujudkan generasi emas unggulan yang mampu menjadikan Indonesia ke jaman keemasan pada masanya mendatang.
Informasi Penulis:
Prof. Dr. Cahyono Agus – Guru Besar UGM Yogyakarta dan anggota PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa) – HP: 081 5688 8041 – Email: acahyono@ugm.ac.id – Web: acahyono.staff.ugm.ac.id
|