Jargon “Kabinet Kerja” bentukan pemerintahan JKW-JK, berupa “kerja, kerja, kerja”, mestinya lebih dipertajam dan diperjelas menjadi KERJA CEPAT, KERJA-KERAS, KERJA-CERDAS, KERJA-IKLAS, KERJA-SAMA, KERJA-BENAR sehingga output pencapaian target kinerja menjadi lebih efektif dan efisien.
Penggabungan Kementrian Kehutanan dengan Kementrian Lingkungan Hidup oleh Presiden yang rimbawan, dikawatirkan tidak bisa langsung kerja tancap gas, diperkirakan perlu waktu transisi selama 2 bulan, karena terkendala struktural, administrasi, keuangan, maupun psikologis. Ada kegalauan SDM Kemenhut yang berjumlah 17.000 PNS ketika harus bergabung atau merasa menjadi sub-ordinat pada KLH, dengan SDM dan lingkup konservatif yang dianggap lebih sempit. Apalagi, menteri yang dipilih adalah dari unsur parpol dan non rimbawan. Atribut parpol telah diharuskan dilepaskan, agar bisa kerja mono-loyalitas, full-time, full-commitment dan full-speed.
Lingkungan laut biru dan langit biru juga harus terintegrasi dengan program Bumi Biru. Daratan bumi biru harus didukung adanya lingkungan produktif dan sehat yang bukan hanya melulu pada sektor kehutanan saja namun juga harus ditegakkan di sektor lain, seperti pertanian, industri, tambang, kota, perumahan, bahkan seluruh sektor di seluruh daratan dan lautan di bumi ini. Untuk itu, ego-sektoral dan ego-sentris harus dikikis habis.
Eksplotasi sumber daya alam yang berlebihan telah mengakibatkan tragedi menyedihkan dengan adanya bencana lingkungan dan kemanusiaan, telah menjadi kenyataan menyakitkan yang sulit dibantah dan ternyata tetap selalu berulang. Bencana alam berupa kekeringan, banjir, longsor, kebakaran, iklim ekstrim dsb nampaknya semakin sulit dihindari. Laju kerusakan hutan tropika basah yang merupakan paru-paru dunia yang pernah mencapai 2,85 juta hektar pertahun, sehingga menyebabkan kerusakan lahan hutan sebesar 60 juta hektar, dituding telah mengakibatkan percepatan pemanasan global di bumi ini. Desakan internasional agar hutan tropika dikonservasi untuk menjaga iklim dunia, justru harus ditunjukkan bahwa hutan Indonesia mampu diperbaiki sehingga berperan penting dalam memperbaiki lingkungan dan kehidupan global.
Sumber daya alam Indonesia masih dikelola sebagai warisan nenek moyang dalam pembangunan nasional yang bertopang pada kekayaan alam semata, sehingga harus dimulai dengan paradigm baru pengelolaan sumber daya alam yang berbasis ilmu pengetahuan, melalui konsep pembangunan berkelanjutan yang cerdas, inovatif, luas, mendalam dan futuristik. Untuk itu, diperlukan paradigma baru untuk menciptakan pengelolaan sumberdaya lahan (tanah, air, mineral, udara), sumberdaya hayati (hewan dan tumbuhan, manusia) sumberdaya lingkungan (interaksi antar makluk) yang mampu mendukung kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan.
Sesuai UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka Kementrian LHK menjadi mampu untuk melakukan audit lingkungan, untuk mengomposisi ulang perizinan lingkungan hidup strategis. Dirjen Planologi Kemenhut menyampaikan adanya izin pertambangan di kawasan hutan konservasi (1,3 juta hektar/379 izin), hutan lindung (4,9 juta ha/1457 izin), dan hutan produksi (19,6 juta ha/4327 izin). Sementara itu, hingga Agustus 2014, ada 517 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 441.000 ha untuk pertambangan. Disamping IPPKH non-pertambangan untuk pertahanan keamanan, jalan umum, dan saluran listrik seluas 44.761 ha. Tata kelola ini harus menyinergiskan aspek ekonomi dengan lingkungan dan sosial budaya setempat.
Semoga penggabungan kementrian ini bisa serba TEPAT, baik tepat orang, tepat waktu, tepat cara, tepat tempat, tepat sasaran, tepat bentuk, maupun tepat tujuan. Dengan pemberdayaan 6M (man, money, material, method, machine, management), diharapkan sumbatan birokrasi pada pelayanan vital harus segera dibenahi pada sumber masalah utamanya, melalui “totok darah” atau pencangkokan bahkan amputasi birokrasi, untuk menyehatkan institusi pemerintah ini. Adanya kebocoran anggaran dan pembiaran terstruktur juga harus ditambal dan dibenahi sehingga pelayanan lingkungan dan kemanusiaan dapat lebih efektif dan efisien.
Semoga sang Presiden rimbawan mampu menjadi “dirigen” yang mumpuni dalam “orchestra” pembangunan bangsa agar terjadi sinergisme 4K (komunikasi, koordinasi, konsolidasi dan konstruksi) antar bidang dalam membangun kesejahteraan lingkungan dan kehidupan yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.
Informasi Penulis:
Prof. Dr. Cahyono Agus
– Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta
– HP: 081 5688 8041
– Email: acahyono@ugm.ac.id