Analisis: KEJAR TAYANG RUU Oleh: Prof. Dr. Cahyono Agus

Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2014 oleh DPR adalah 68 RUU, padahal masa bakti keanggotaan DPR periode 2009-2014 akan berakhir 30 September 2014. Namun, baru 15 RUU telah disahkan. Masih banyak perbedaan pandangan yang cukup tajam baik antara DPR dan pemerintah maupun di antara fraksi-fraksi di DPR.
Penulis diminta sebagai pembahas dalam dengar pendapat Komisi IV DPR RI, tentang RUU Konservasi Tanah dan Air (KTA), sebagai salah satu RUU prioritas yang dikebut. RUU diharapkan mampu menanggulangi tragedi menyedihkan akibat bencana lingkungan dan kemanusiaan, yang telah menjadi kenyataan menyakitkan yang sulit dibantah dan ternyata tetap selalu berulang. Namun demikian, definisi, landasan dasar, roh, struktur, formulasi dan bentuknya masih mengandung kesalahan fatal, yang apabila dipaksakan, akan mengakibatkan kerancuan dan problema teknis, administrasi, budaya, sosial ekonomi dan hukum yang lebih fatal, serius dan kompleks. Mestinya dilakukan secara terpadu, menyeluruh, kompak, menyatu dan konsisten dengan kebijakan lain yang terkait, sehingga tidak sepotong-potong, terisolir, berdiri sendiri dan terkesan egosentris.
Lokus dan obyek tanah dalam RUU ini tidak jelas dan tegas, meskipun dalam batasan ketentuan umum merupakan lapisan kulit bumi, namun nampaknya maksud RUU ini hanya terbatas pada lahan hutan saja. Air didefinisikan menyeluruh untuk seluruh air di atas atau bawah permukaan bumi tanpa kecuali, termasuk di laut, darat dan udara, namun ternyata hanya sebatas lengas tanah, yang langsung berhubungan dengan kebutuhan air kehidupan. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), air meliputi 71% permukaan bumi dengan jumlah kira-kira 1,4 triliun km3, namun hanya sebagian kecil (0,003%) saja yang dapat benar-benar dimanfaatkan. Sebagian besar air (97%), berada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi. Sedangkan 3% lainnya, tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah, sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara langsung. Kerancuan batasan ini juga sangat fatal dalam mengarahkan formulasi dan roh RUU yang akan dibuat. Klasifikasi lahan dan kawasan hutan juga harus dipertegas, diperjelas, tidak rancu, dan tidak tumpang tindih atau justru ada yang terlewatkan. Tanah dan air sebagai kesatuan termasuk ekosistem diatasnya sebaiknya mengacu pada istilah lahan, sehingga kalau RUU ini dikhususkan pada lahan hutan, maka sebaiknya diberi nama RUU KONSERVASI LAHAN HUTAN
RUU akan menimbulkan konsekuensi kegiatan dan biaya besar, namun jaminan perbaikan fungsi lahan untuk lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan tidak dirumuskan dengan baik, sehingga masih berkesan investment based regulation. RUU ini masih menganggap tanah dan air sebagai obyek barang mati yang bisa ditambal sulam. Indikator kunci utama keberhasilan pelaksanaan, bukanlah penyelesaian pertanggungjawaban administrasi keuangan, dan kesesuaian pelaksanaan dengan SOP belaka. Namun harus dengan membaiknya input, proses, output dan outcomes kualitas sumber daya lahan (tanah, air, mineral, udara, dsb), sumber daya hayati (binatang, tumbuhan, manusia, dan makluk hidup lain), serta sumber daya lingkungan (interaksi antar makluk), melalui indikator yang terukur dan dapat dirasakan secara nyata pada aspek ekonomi, lingkungan dan sosbud. Metode KTA, sebaiknya berdasarkan kerangka ilmu dan implementasi lapangan, adalah dengan: rekayasa fisik, kimia, biologi dan sosial budaya, secara terpadu, optimal dan harmonis.
Kewenangan pemerintah dan pemda sebaiknya dibuat kriteria yang lebih jelas, sehingga kalau terjadi nomenklatur dan klasifikasi yang berbeda persepsinya, juga tetap mempunyai maksud yang sama. Setiap orang wajib melaksanakan KTA, namun tidak diperjelas bagi siapa atau hanya bagi yang memiliki, memanfaatkan, menggunakan atau bahkan yang tidak terkait apapun. Sangsi pidana, nampaknya akan sulit dicapai dan rawan penyimpangan. Pidana penjara 2-15 tahun dan/atau pidana denda sampai Rp15 milyar bagi para peladang berpindah atau petani sayur di lereng Sindoro Sumbing yang telah turun menurun menggantungkan kehidupannya terhadap cara bertani tradisional justru akan mengakibatkan problema sosial ekonomi dan hukum yang lebih kompleks.
RUU KTA sangat penting untuk segera diundangkan, untuk menjaga dan menciptakan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan, namun diperlukan penyempurnaan radikal sehingga formulasinya harus lebih cerdas, luas, mendalam, futuristik, mempunyai roh EfSD, terstruktur, konsisten, kompak, menyeluruh, harmonis, utuh dan bercirikan outcomes based regulation. Semoga RUU yang lainpun bisa disempurnakan, sehingga tidak perlu diajukan ke MK atau harus direvisi setelah diundangkan.

Informasi Penulis:
Prof. Dr. Cahyono Agus
– Guru Besar pada Fakultas Kehutanan UGM Jogjakarta
– HP: 081 5688 8041
– Email: acahyono@ugm.ac.id