Indonesia memiliki masalah serius dengan sampah. Dinobatkan sebagai juara kedua di bumi ini, setelah China, dalam membuang sampah plastik yang terbawa sampai lautan. Dengan rata-rata pemakaian kantong plastik di Indonesia adalah 700 lembar/tahun/orang, maka mencapai 4.000 ton/hari, atau setara dengan 16 pesawat Boing 747, sehingga sekitar 100 milyar kantong plastik terkonsumsi selama setahunnya. Produksi kantong plastik sebanyak itu, menghabiskan 12 juta barel minyak bumi yang tidak bisa diperbaharui, yang setara dengan 11 triliun rupiah.
Menurut artikel oleh Dr. Jenna Jambeck dalam The Journal Science yang diterbitkan pertengahan Februari 2015 ini, Indonesia membuang sampah plastik sebanyak 3,22 juta ton pada tahun 2010, sekitar 10% dari total sampah bumi. Sekitar 0,48 -1,29 juta metrik ton berakhir sebagai endapan sampah lautan. Jumlah total sampah dunia ke laut adalah 275 juta metrik ton, sekitar 4,8-12,7 juta ton berupa botol, tas, sedotan, bungkus dan bahan plastik lain. Diperkirakan, jumlah tersebut akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2015, setara dengan 10 tas plastik penuh pada setiap jengkal kaki di garis pantai, berpotensi menjadi bencana lingkungan dan kehidupan yang serius.
Sampah kantong plastik baru dapat terurai setelah 500-1000 tahun lagi. Banyak sampah plastik tidak sampai ke tempat pengolahan sampah, tertinggal dan menjadi bencana lingkungan serius karena menyumbat saluran air di sungai, saluran air got, draenase, pantai bahkan laut. Inilah salah satu penyebab nyata banjir yang melumpuhkan beberapa daerah di Indonesia. Banjir di Indonesia memang lebih banyak disebabkan oleh ulah dan ego manusia dalam mengekploitasi sumber daya alam yang dianggap sebagai warisan yang diperoleh secara gratis, untuk semata kenyamanan hidup sendiri, tanpa memperhatikan dampak masa kini dan masa depan.
Pengembangan riset nano-teknologi untuk mendapatkan plastik dari senyawa organik seperti tanaman ketela pohon, menjadi salah satu solusi alternatif jitu, karena tetap kuat namun terdekomposisi lebih cepat dan ramah lingkungan. Pusat inovasi di Litbang dan Perguruan Tinggi mestinya dapat berkontribusi lebih banyak untuk menghasilkan teknologi tepat guna tersebut.
Singapura dinobatkan sebagai kota terbersih karena menerapkan aturan dan denda yang tinggi bagi yang membuang sampah sembarangan. Jepang menerapkan pengolahan sampah terpadu dengan didukung sistem, budaya dan partisipasi aktif masyarakatnya. USA berhasil mengurangi sampahnya karena didukung sistem insentif des-insentif, peraturan dan dukungan masyarakatnya. Arab Saudi lebih mengandalkan pasukan pembersih handal, sehingga meskipun sampah dari para jamaahnya berjibun, bisa segera bersih dalam waktu sekejap.
Indonesia sangat lemah dalam peraturan, budaya, kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah terpadu, sehingga telah menjadi problem nyata yang tak terbantahkan. Namun ironisnya, kesadaran dan partisipasi yang berwenang maupun seluruh masyarakatnya sangatlah rendah. Budaya buang sampah sembarangan sudah menjadi tradisi umum, dilakukan dengan seenaknya, tanpa merasa bersalah, oleh hampir seluruh lapiran masyarakat. Jalanan dan sungai menjadi tempat pembuangan sampah terpanjang dan praktis, tanpa mau tahu konsekuensi bencana bagi lingkungan global.
Konsep ekonomi biru telah memberi peluang agar sampah dan barang terbengkelai dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan, energi dan pekerjaan, sehingga mengubah kemiskinan menjadi pembangunan berkelanjutan, dan kelangkaan menjadi ketersediaan. Sampah harus dikelola secara terpadu dan berkelanjutan dengan pola 9R (reduce, reuse, recycle, refill, replace, repair, replant, rebuild, reward), agar 9W (wareg, waras, wasis, waskito, wismo, wusono, wibowo, waluyo, wicaksono). Meliputi siklus: energi, bahan organik, karbon, air, nutrisi, produksi, tanaman, material dan siklus uang. Perlu peraturan UU dan pemberdayaan pengelolaan lingkungan terpadu yang memberi wawasan yang cerdas, luas, mendalam dan futuristik, sehingga menumbuhkan tanggung-jawab dan kontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan dan kehidupan yang bermartabat dan berkelanjutan. Berdasarlan konsep terstruktur, konsisten, kompak, menyeluruh, harmonis, utuh, dengan nilai tambah ekonomi, lingkungan, sosial-budaya dan kesehatan.
Informasi Penulis:
Prof. Dr. Cahyono Agus
– Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta
– Kepala KP4 UGM Yogyakarta
– HP: 081 5688 8041
– Email: acahyono@ugm.ac.id
web: http://acahyono.staff.ugm.ac.id/