KETANGGUHAN PANGAN Oleh: Prof. Dr. Cahyono Agus

Ketahanan Pangan di Indonesia telah diatur berdasarkan UU 18/2012. Menurut Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015, ketahanan pangan sebagian besar masyarakat Indonesia telah meningkat pada periode 2009 dan 2015. Terutama sebagai dampak dari perbaikan pada beberapa indikator ketahanan pangan dan gizi. Sejak tahun 2005, telah terjadi penurunan jumlah kabupaten yang paling rentan pangan (Kawasan Prioritas 1 dan 2). Saat ini, pemerintahan juga semakin memprioritaskan program pangan dan gizi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Anggaran Kementan pada 2016 mengalami kenaikan 100% dibanding 2015,  fokus untuk menggenjot produksi pangan. Sebesar Rp 32,9 triliun khusus program swasembada tujuh komoditas pangan utama. Target  produksi padi 2016 adalah 75,13 juta ton, jagung 21,35 juta ton, kedelai 1,5 juta ton, daging sapi atau kerbau 0,59 juta ton, karkas 0,46 juta ton potongan daging, gula 2,8 juta ton, bawang merah 1,17 juta ton, cabai 1,1 juta ton. Indonesia memiliki kemampuan nyata untuk memproduksi pangan mandiri. Program harus difokuskan pada sumber kerentanan pangan, melalui ektensifikasi, intensifikasi, terobosan inovasi, serta pemberdayaan petani agar mampu membantu dirinya sendiri secara mandiri. Peningkatan produksi pangan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan petani di desa. Sementara, Kemendes PDTT menyalurkan Dana Desa tahun 2016 sebesar Rp. 47 trilyun untuk memicu sektor riil di pedesaan, bahkan akan ditingkatkan terus hingga Rp 80 trilyun.

Selama ini, sejumlah bahan pangan masih diimpor meskipun sudah mulai turun. Menurut Laporan Badan Pusat Statistik pada Februari 2016, impor Indonesia terhadap bahan makanan dan binatang hidup menurun sebesar 16,83% dibanding tahun sebelumnya. Dari sebesar 13.433,2 juta USD  pada priode Januari-Nopember 2014 menjadi hanya sebesar 11.172,9 juta USD pada periode yang sama tahun 2015, dengan total berat 21.254 juta kg. Namun total impor barang juga menurun 20,23% dari 163.744,3 juta USD menjadi hanya 130.617,5 juta USD. Dengan demikian, kontribusinya justru meningkat dari 8,2% menjadi 8,55% dari total impor. Sementara, nilai ekspor nonmigas dari produk hasil pertanian pada bulan Desember 2015 hanya sebesar 430 juta USD saja.

Kita seharusnya bukan hanya mengupayakan program ketahanan pangan, atau kedaulatan pangan, namun juga harus mampu menuju ketangguhan pangan nasional.  Yang mampu secara mandiri memproduksi pangan halal dan sehat yang bermartabat dan berkelanjutan, serta mampu mensejahterakan petani. Indonesia akan bisa menjadi negara tangguh pangan seutuhnya, jika pertanian sebagai lokomotif pembangunan desa terpadu dikelola dari hulu ke hilir secara sinergis dan baik, berorientasi program nyata dan bukannya proyek semata, efektif dan efisien, tanpa tumpang tindih program dan kewenangan.

Potensi produktivitas lahan Indonesia yang merupakan jamrut kathulistiwa sebenarnya 10 kali lipat dibanding negara maju di daerah temperate. Petani yang merupakan produsen pangan yang berjumlah 70% penduduk Indonesia, sangat bergantung pada industri pangan ini. Pertanian terpadu dapat menjadi sektor super hero baru perekonomian nasional dalam mengelola sumber daya lahan (tanah, air, udara) dan hayati (hewan, tumbuhan dan manusia) unggulan lokal, berbasis masyarakat. Semua harus berperan dan berkontribusi nyata untuk kepentingan bersama, bukan hanya jadi penonton, apalagi pecundang. Kita harus mampu memenangkan persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) melalui program tangguh pangan nasional, bukan justru diserbu produk impor.

Diterbitkan di Harian Sindo, 17 Februari 2016

Informasi Penulis:

Prof. Dr. Cahyono Agus

– Guru Besar UGM Yogyakarta

–  HP: 081 5688 8041

–  Email: acahyono@ugm.ac.id

– web: http://acahyono.staff.ugm.ac.id